Udah cukup lama saya penasaran
untuk bisa melihat langsung keindahan gunung Bromo. Terlebih lagi waktu saya
mengirimkan postcard dengan gambar gunung bromo ke orang Jepang kenalan saya,
dan ternyata dia bilang dia sudah pernah naik ke sana. Sedangkan saya yang orang Indonesia saja
belum pernah ke Bromo
-____-
Jadi bulan Oktober saya mulai deh
cari-cari info, kira-kira kalau untuk pergi ke sana sendiri itu berapa. Dan
ternyata oh ternyata…. Mahal juga kalo buat jalan sendiri kesana, hadeeuhh bisa
tekor ini tabungan mana baru beres liburan sebelumnya ke Singapore. Jadi mulai
bergerilya cari temen di kantor mungkin ada yang berminat untuk ikut. Tapi
berhubung orang di kantor saya kebanyakan orang-orang yang sudah berkeluarga
jadi agak repot untuk diajak backpacker ke gunung seperti ini.
And one day, out of nowhere, salah
satu teman saya di bagian Finance, memberi tahu bahwa dia ada rencana untuk
pergi trip keliling Jawa dengan orang-orang daerah rumahnya selama 6 hari,
salah satunya nanti akan melewati Bromo. Tapi trip teman saya ini sebetulnya
adalah trip untuk ziarah juga, jadi pastinya akan banyak mendatangi makam-makam.
Awalnya saya malas juga untuk gabung, karena saya hanya tujuannya untuk ke
Bromo saja, tidak ada tujuan untuk mengunjungi kota-kota lain, apalagi makam.
Tapi setelah sekian lama masih tidak nemu teman yang bisa diajak backpacker
juga, jadi saya putuskan ikut tour dengan teman kantor saya ini.
So, it’s positive that I’ll join
the tour with my friend. Dengan membayar Rp.550.000,- untuk transportasi selama
6 hari, makan siang gratis di hari pertama,
biaya elp, jeep, tiket masuk ke bromo, parkir dan bensin sudah termasuk
ke Rp.550.000 itu.
Hari-1:
Tanggal 25 Desember 2013,
saya berangkat naik bus jam 7 pagi dari Jakarta dengan tempat pertama yang di
datangi adalah Masjid agung Jawa tengah, saya masih sempat untuk naik ke
menaranya. Menara ini buka untuk pengunjung hingga jam 8.30 malam. Untuk naik
ke menara yang memiliki tinggi 19 lantai ini, kita harus membayar
Rp.5.000,-. Di lantai 2 dan 3 dari
menara ini terdapat museum, yang buka dari pagi sampai jam 3 sore. Sebetulnya
saya penasaran ingin melihat Masjid agung ini saat payung di bagian depannya
terbuka, sama seperti payung yang ada di masjidil Haram di Mekah. Tapi
berhubung payung itu hanya dibuka saat salat Jumat jadi saya belum
berkesempatan melihatnya kali ini. Setelah mengunjungi masjid agung jawa
tengah, saya lanjut ke Masjid Agung Demak di depan Alun-alun demak dan menginap
di daerah sana. Kami menginap di wisma bernama wisma MUTIARA yang cukup nyaman
dan bersih, 1 kamar saya sharing dengan
4 orang lainnya. Per orang membayar Rp. 25.000.
|
Masjid
Agung Jawa Tengah dilihat dari atas menara di waktu malam |
Hari-2:
Paginya saya terbangun mendengar
ada suara ibu-ibu mengetuk pintu menawarkan nasi pecel, harganya cuma Rp.3.000
saja, dan lumayan untuk mengganjal perut di pagi hari. Pagi itu saya mengunjungi
Makam Sunan Kalijaga yang jaraknya hanya 5 menit jalan kaki dari wisma tempat
saya tidur semalam. Sepanjang lorong jalan masuk, dikanan kirinya beridiri toko-toko
souvenir. Dan di luar area makam banyak terdapat orang yang menjual wedang
ronde, dengan harga Rp 4.000. Menurut saya wedang ronde di alun-alun Jogja
masih jauh lebih enak dinbanding dengan wedang ronde disini.
|
Bagian
depan pendopo Makam Sunan Kalijaga |
|
Lorong menuju makam yang di kanan kirinya diisi
oleh penjual souvenir
|
Siangnya kami melanjutkan
perjalanan ke Madura. Ini pertama kalinya saya melewati jembatan
Suramadu. Untuk kendaraan roda 4, melewati Suramadu ini dikenakan Rp.30.000,-
Cuma saya tidak perlu bayar lagi karena sudah termasuk dalam biaya Rp.550.000,-
sebelumnya. Di Madura saya mengunjungi masjid Kholil. Masjidnya cukup besar dan
bagus, walau tentunya tidak sebesar masjid agung Jawa Tengah. Untuk yang mau
beli souvenir di dekat parkirannya banyak. Tapi kalo disini saya engga berani
nawar ngotot, soalnya orang yang jualannya kalau ngomong lebih ngotot lagi,
tapi mungkin juga karena memang logatnya saja yang seperti itu.
Oh iya, di daerah sana ada 1 tempat makan
bebek yang terkenal enaknya, namanya bebek Sinjai. Katanya orang-orang Surabaya saja sering yang bela-belain untuk nyebrang ke Madura demi makan bebek Sinjai
ini. Harga seporsi Rp.25.000. Saya biasanya tidak suka makan bebek
karena amis baunya. Tapi begitu nyoba bebek Sinjai ini, enaaaakkkkk banget, di
makan dengan sambel mangga muda, rasa daging bebeknya tidak amis, jadi mirip
daging ayam dan tidak liat juga.
Beres dari Madura, saya kembali
ke Pulau Jawa untuk mengunjungi tempat yang jadi alasan saya untuk ikut tour
ini, Gunung Bromo.
Selama perjalanan menuju Malang, cuaca hujan
gerimis, saya sih berdoa semoga waktu
subuh sudah cerah lagi sehingga bisa melihat matahari terbit langsung di Bromo.
Hari-3:
Jam 12 malam saya tiba di sebuah
restoran yang biasa digunakan untuk tempat persinggahan orang-orang yang akan
pergi ke Bormo, nama restorannya Panorama. Lagi-lagi begitu turun dari bus, di
parkiran sudah ada 2 lapak pedagang yang berjualan rajutan syal, sarung tangan,
kupluk. Harga syal biasa Rp.10.000,- tapi untuk syal yang ada tulisan Bromo,
dijual lebih mahal yaitu Rp.25.000,-. Sedangkan harga untuk kupluk Rp.10.000
dan sarung tangan Rp 5.000,-.
Untuk sampai ke Bromo saya
melanjutkan perjalanan dengan Elp ke arah Bormo dan berhenti di tempat yang
mirip seperti terminal untuk Jeep. Kemudian melanjutkan dengan jeep hingga
dekat titik puncak spot untuk melihat matahari terbit di Bromo. Pemandangannya
indaaahhh banget dari spot sunrise itu, banyak orang-orang yang khusus membawa
tripod untuk mengabadikan pemandangan pagi itu dengan kamera mereka. Setelah
puas, saya kembali turun dan menuju ke kawasan kawahnya. Untuk cerita Bromo ini
saya bahas lebih lengkap di blog selanjutnya aja ya heheheeee…
|
Pemandangan dari view Point Gunung Bromo |
Selesai dari Bromo saya pergi ke kota Blitar, disana saya
menginap dengan harga Rp.25.000,- dengan share kamar dengan 3 orang lainnya.
Kebetulan sedang ada pasar malam di dekat alun-alunnya. Di salah satu gedung
dekat alun-alun yang sedang mengadakan acara konser dangdut saya melihat ada
papan besar bertuliskan “Malam ini menampilkan (nama seseorang yang tidak saya
kenal)” . Nama yang tidak saya kenal itu mungkin penyanyi dangdut terkenal
di Blitar. Pasar malamnya cukup ramai, tapi tetap tertib, tiap pedagang memiliki
kios masing-masing yang tidak sampai tumpah ke jalan.
Hari-4:
Pagi-pagi saya segera pergi
menuju depan tempat menginap saya untuk mencari becak, yang ternyata bukan hal
yang sulit karena di depan penginapannya itu ternyata sudah banyak berjejer
tukang becak. Ada
yang unik pagi itu di depan penginapan, karena tiba-tiba seperti ada pasar
tumpah dadakan, dengan penjual sayuran, dan tentu saja masih ada penjual
souvenir. Tapi berhubung saya tidak tertarik belanja saya langsung mencari
salah satu becak yang bisa mengantar saya ke tujuan pertama saya pagi itu yaitu
Museum Istana Gebang. Setelah tanya-tanya harga dan sebelumnya menanyakan
terlebih dahulu ke orang di penginapan, ternyata kita bisa menyewa becak untuk
dintar berkeliling dari penginapan, museum istana gebang, kemudian ke Makam Bung Karno, dan diantar kembali ke penginapan, dengan membayar
Rp.25.000,-/becak. Harga ini sudah disepakati bersama antara para tukang becak
dan dinas pariwisata Blitar. Jadi karena saya berdua dengan teman saya, per
orang hanya butuh membayar Rp.12.500,-. Suasana pagi di Blitar dengan naik
becak, benar-benar hal yang menyenangkan dan refreshing banget, karena jalan
raya yang sepi, dan udara masih segar sekali. Dari penginapan saya ke Museum
Istana Gebang mungkin sekitar 10 menit menggunakan becak. Begitu turun kita
diberi kertas bertuliskan nomor yang menunjukan nomor becak yang kita gunakan.
Jadi tiap becak disini memiliki nomor masing-masing yang bisa dilihat di
tuliskan besar-besar di sandaran kursi atau di
kaos pengayuh becaknya.
Museum Istana Gebang ini
sebetulnya adalah salah satu rumah peninggalan Presiden pertama RI Bung Karno.
Pada bagian taman, berdiri sebuah patung Bung Karno berwarna putih, begitu
masuk ke dalam rumah utama, kita langsung bisa melihat banyak foto-foto dan
tulisan tangan Bung Karno dalam bingkai figura di dinding-dinding rumah. Kita
juga masih bisa melihat bagian kamar tidur dari rumah itu. Di bagian belakang
masih disimpan mobil milik Bung Karno. Pada samping rumah utama terdapat Balai
Kesenian yang berisi alat-alat gamelan yang masih sering digunakan hingga saat
ini.
|
Bagian dalam dari rumah tetap dipertahankan dengan keadaan asalnya. |
Selesai
dari Museum Istana Gebang, saya melanjutkan ke Makam Bung Karno. Untuk ukuran
makam, komplek makan Bung Karno ini cukup luas, karena memiliki perpustakaan
dan museum juga didalamnya. Untuk masuk ke Museum Istana Gebang dan Makam Bung
Karno, kita tidak dikenai biaya alias gratis.
|
Nuansa Bali terasa dengan adanya gapura pada kompleks pemakaman |
|
Makam Bung Karno yang tidak pernah sepi kedatangan peziarah |
Saya kemudian kembali ke
penginapan untuk makan dan melanjutkan perjalanan selanjutnya ke daerah Merapi
di Gunung kidul Jogja. Saya tiba di
sana
sekitar pukul 10 malam dan menginap di Cangkiran. Letaknya dibawah kaki gunung
merapi. Tempat yang saya tempati malam itu sangat bersih, memiliki air hangat
juga untuk mandi.
Hari ke-5:
Pagi hari saya jalan-jalan
sekitar penginapan dan menemukan sebuah pasar tradisional, juga terdapat warung
yang menjual tempe bacem tapi saya menyebutnya
Tempe Caramel, karena rasanya yang menurut saya terlalu manis, seperti tempe yang di lumuri caramel. Pagi itu saya makan dengan tahu campur lamongan. Isinya lontong, tahu,
dan diberi kuah yang manis mirip kuah di tahu gejrot. Biaya penginapan dan
sarapan, saya bayar Rp. 40.000,-.
Selesai membereskan semua
barang-barang bawaan, saya kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan untuk
melihat-lihat daerah Kaliurang, kawasan ini termasuk daerah yang terkena dampak
dari letusan gunung merapi. Selama perjalanan banyak terlihat rumah kosong yang
ditinggalkan penguhinya, juga di beberapa tempat bisa dilihat rumah yang
tertutup tanah hingga atap, juga tembok yang jebol oleh aliran lahar. Tapi
ditengah semua bangunan yang luluh lantah itu, terdapat satu mushola yang dalam
kondisi baik-baik saja karena entah bagaimana mushola itu selamat saat
terjadinya banjir lahar. Disana juga saya melewati sungai aliran lahar dingin,
bernama Kali Bendol.
|
Salah satu rumah yang menjadi korban terjangan lahar, hingga bagian dindingnya bolong
|
|
Kali Bendol, kali aliran lahar merapi
|
Dari Kaliurang saya melanjutkan
perjalanan ke Jogja, untuk pergi ke Prambanan. Saya agak terkejut juga karena
saat ini untuk masuk ke Candi terbesar yang di dalamnya terdapat Patung
Rorojongrang, saya harus mengantri di luar pagar yang sekarang di pasang pagar
besi. Jumlah pengunjung yang boleh masuk ke dalam candi maksimal 50 orang, dan
setiap orang yang masuk hanya diberi waktu maksimal 15 menit. Pengunjung yang
akan masuk ke candi ini, akan diberikan helm untuk digunakan kedalam candi.
Menurut info, proses seperti ini akan terus di laksanakan untuk beberapa tahun
kedepan, jika dilihat hasil beberapa tahun kedepan ini Candi Rorojongrang ini tidak stabil, terdapat
kemungkinan candi rorojongrang akan ditutup untuk umum karena dianggap
berbahaya. Oh iya,tiket masuk ke Prambanan itu Rp.30.000,-
|
Candi Prambanan |
Selesai dari Prambanan, saya
pergi ke daerah Keraton, tapi karena hanya punya waktu sedikit, saya langsung
menuju ke daerah taman sari. Untuk menuju ke taman sari, kita harus masuk ke
dalam daerah rumah-rumah penduduk dan banyak jalan berbelak belok. Walaupun
terdapat sebuah peta besar untuk menunjukan wilayah taman sari, tapi berhubung
saya tidak bisa membaca peta, jadi lebih baik bertanya pada penduduk sekitar sana. Tempat yang pertama
saya kunjungi adalah Taman sari, yang dijaman
dulu merupakan tempat mandinya para putri keraton. Selanjutnya saya mengunjungi
mesjid bawah tanah yang masih berada di kompleks sekitaran sana juga. Ruangannya penuh dengan
lorong-lorong panjang yang memutar. Di bagian tengahnya terdapat tempat yang
mirip panggung kecil berfungsi untuk Muadzin pada jaman dulu saat akan mengumandangkan adzan.
|
Taman Sari, kolam yang dulunya digunakan untuk mandi para putri |
Tempat terakhir yang saya
datangi, tidak jauh juga dari masjid bawah tanah, yaitu reruntuhan keraton.
Menurut teman saya, itu adalah reruntuhan keraton yang dihancurkan oleh
Belanda, tapi memang dibiarkan begitu saja tidak dibangun ulang.
|
Reruntuhan Bangunan keraton |
|
Pecahan patung yang terdapat di kompleks reruntuhan keraton. |
Akhirnya setelah berkeliling di
kompleks taman sari, saya pun kembali ke daerah Malioboro untuk mencari Bus
yang saya tumpangi untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke kota terakhir, yaitu Tegal.
Hari ke-6:
Saya sampai di penginapan di
daerah Guci, Tegal pada jam 2 pagi. Masih sempat tidur sebentar sebelum bangun
pagi untuk pergi ke pemandian air panas. Jam 6 pagi saya segera menuju ke pemandian
air panas di daerah Guci. Disini terdapat beberapa jenis pemandian yang bisa
kita pilih sendiri. Ada
pemandian di tempat terbuka yang memiliki pancuran-pancuran air hangatnya.
Banyak orang yang memilih pemandian jenis ini karena ingin duduk diam dibawah
pancurannya dan merasakan tekanan air pancuran seakan memijat pundak mereka. Ada juga jenis pemandian
private dimana tiap orang diberi kamar masing-masing, yang didalamnya terdapat
bak mandi besar seukuran bathtub dengan sebuah pipa air panas yang terus
mengalir ke dalam bak mandi itu.
Harga untuk pemandian private ini
pada hari libur sebesar Rp.5.000 untuk dewasa dan Rp. 3.500 untuk anak-anak.
Sedangkan pada hari biasa harga untuk dewasa Rp. 3.500 dan anak-anak Rp.3.000.
Di sekitar pemandian ini masih
benar-benar alami, dengan banyaknya pohon-pohon yang mengelilingi wilayah
pemandian air panas. Disana juga banyak yang menjual makanan hangat sehingga
setelah selesai berendam di air panas, kita bisa langsung lesehan di salah satu
warung dan sarapan.
Saya melakukan perjalanan kembali ke Jakarta jam 10 pagi, dan sampai di Jakarta jam 8 malam.
Entah bagaimana, walau sudah melakukan perjalanan darat selama 6 hari 5 malam,
tapi badan saya masih seger-seger saja. Mungkin capeknya diobati
pemandangan-pemandangan yang saya temui selama trip kali ini ya..